Suhabiya (50) saat memproduksi Jalabiya di dapurnya, Jumat (25/11/2022). (Foto Syarif/E-KABARI) |
SUMENEP, E-KABARI.com - Perjalanan berburu Jalabiya ini bermula dari nostalgia bersama kawan-kawan redaksi mengenai jajanan tradisional yang sudah dinikmati sejak sekolah dasar. Rupanya, kue tradisional itu masih lestari hingga hari ini.
Perbicangan di kantor itu berakhir dengan kami memutuskan untuk jalan-jalan ke ujung timur Kabupaten Sumenep. Untuk memastikan lelehan manisnya, juga kriuk Jalabiya, sambil mengenang masa lalu.
Sampai di Pasar Kecamatan Dungkek, kami memutuskan berhenti sejenak untuk melihat ragam kuliner lokal. Sekadar pengganjal perut sebelum melanjutkan perjalanan.
Hingga kemudian kami bertemu dengan tim lain yang juga berburu Jalabiya. Mereka berjumlah 5 orang, dari Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Sumenep.
Setelah berbincang sejenak sembari menikmati sebatang rokok dan kue Kopeng Bali, kami memutuskan berangkat bareng bersama tim dari Kominfo yang tengah berburu Jalabiya ke Kecamatan Dungkek.
Ternyata, kue tradisional khas Desa Lapa Taman, Dungkek yang kami inginkan itu tidak hanya persoalan nostalgia masa lalu. Tetapi sudah menarik perhatian masyarakat, bahkan Pemerintah Kabupaten Sumenep.
Dari Pasar Dungkek kami masih perlu melewati dua desa lagi untuk sampai pada lokasi pemburuan Jalabiya, yaitu Desa Lapa Laok dan Desa Lapa Daya.
Setelah beberapa menit perjalanan, menyusuri jalan rindang serta samping kiri kanan penuh dengan tambak udang, akhirnya kami sampai ke desa tujuan, Desa Lapa Taman.
Di sana, kami langsung bergegas ke satu bangunan yang tidak jauh dari jalan raya. Sekitar sepuluh langkah menuju rumah itu, aroma kue Jalabiya sudah tercium gurih.
Saat itu kisaran pukul 9 pagi. Kami sudah khawatir tidak kebagian Jalabiya yang baru mateng. Sebab informasi dari rekan-rekan di Lapa Taman, kue tradisional tersebut dibuat sejak pagi buta, dari pukul 5 - 8 pagi.
Benar saja, kami kehilangan kesempatan di tempat produksi pertama. Beruntung sebelum putus asa kami mendapatkan pembuat Jalabiya lain yang produksi sampai siang.
Suhabiya, demikian nama pembuat Jalabiya itu. Saat kami sampai di rumahnya, warga sekitar kaget dan bingung melihat mobil pelat merah rombongan Dinas Kominfo.
Bahkan, Suhabiya sempat menyangka kami adalah petugas penyalur bantuan. Beruntung setelah dijelaskan bahwa kedatangan kami ingin menelusuri pembuatan Jalabiya sembari membantu promosi, ia segera mengerti.
Selanjutnya, Suhabiya mempersilakan kami masuk ke tempat produksi. Berbincang sambil mencicipi Jalabiya buatannya yang gurih.
Ketimbang masyarakat yang lain, Suhabiya terbilang baru menekuni bisnis jajanan tradisional khas desanya itu.
"Kurang lebih tiga tahun saya jualan Jalabiya," tuturnya, Jumat, 25 November 2022.
Jadi Mata Pencaharian
Jalabiya, kue tradisional khas Desa Lapa Taman, Kecamatan Dungkek, Sumenep. (Foto Syarif/E-KABARI) |
Suhabiya tidak menjelaskan bagaimana sejarah Jalabiya. Namun sepengetahuannya, masyarakat Desa Lapa Taman sudah mengenal kue bulat itu sejak dulu.
Ia pun tak menampik jika Jalabiya sudah menjadi kue tradisioanal khas Lapa Taman.
"Saya mulai buat itu dari jam 5 pagi. Habis shalat subuh itu sudah bikin adonan," katanya sambil menggoreng Jalabiya.
Suhabiya menyebut dirinya bukan satu-satunya pembuat Jalabiya. Mayoritas warga Desa Lapa Taman adalah pembuat jajanan tradisional yang manis itu.
Boleh dibilang, itu sudah menjadi salah satu mata pencaharian warga Desa Lapa Taman. Khususnya jadi usaha kaum perempuan.
"Sebenarnya bukan cuma di sini yang jual Jalabiya, orang Lapa Taman rata-rata jual Jalabiya," ujar Suhabiya.
Bedanya, mayoritas masyarakat Lapa Taman membuat Jalabiya di pagi hari saja. Hanya Suhabiya yang memproduksi sampai siang.
"Yang lain bikinnya tidak sampai siang. Jualnya kan ke pasar pasar, jadi harus pagi," tutur perempuan berusia 50-an itu.
Bahan-bahan dan Proses Pembuatan
Sembari bercerita di dapur yang menjadi tempat produksi, Suhabiya mempersilakan E-KABARI.com dan tim liputan dari Dinas Kominfo Sumenep mencicipi Jalabiya yang baru diangkat dari penggorengan.
Kriuk manis gurih kue tradisional itu sudah terasa sejak gigitan pertama. Nikmatnya sampai ke langit-langit. Gula arennya benar-benar meleleh di mulut.
Dan ternyata, bikin kue Jalabiya senikmat itu sangat mudah dan sederhana. Bahan-bahannya pun sederhana. Hanya tepung beras, tepung terigu dan tangghuli (gula aren cair).
Untuk membuat adonan kue itu, Suhabiya mencampurkan tepung beras dan terigu dengan air secukupnya hingga sedikit kental. Kemudian, ia memasukan adonan itu ke cetakan yang berbentuk corong, lalu dituang ke penggorengan yang berisi minyak panas.
Adonan diangkat dari penggorengan ketika sudah berwarna agak kecokelatan. Kemudian tiriskan, lalu celupkan ke tangghuli yang sudah disiapkan sedari awal.
"Bahannya cuma tepung terigu sama tepung beras dicampur sama air, diaduk hingga agak kental, terus digoreng. Kalau sudah kecokelatan diangkat, langsung dicelupkan ke tangghuli," Suhabiya menjelaskan.
Raup Omzet Ratusan Ribu per Hari
Suhabiya memproduksi Jalabiya sekitar 400-500 biji per hari. Jika umumnya produsen kue tradisional itu menjual ke pasar, Suhabiya hanya menitipkan di toko anaknya. Di samping itu, ia juga menerima pesanan.
"Saya tidak pernah menjual ke pasar, cuma ditaruh di toko anak saya. Makanya saya bikinnya bisa sampai siang, soalnya kalau di toko tinggal dikit, ya bikin lagi," ungkapnya.
Setiap hari pendapatan dari jualan Jalabiya lumayan. Suhabiya bisa mendapatkan omzet 400-500 ribu dengan harga jual Rp 1 ribu/biji.
"Ya kalau ada pesanan banyak, baru dapat untung banyak. Orang yang pesan buat oleh-oleh itu tidak hanya orang Dungkek, orang luar Kecamatan Dungkek juga banyak," tuturnya.
Tak heran jika Jalabiya digandrungi banyak orang. Sebab selain gurih manis dan nikmat, kue tradisional khas Lapa Taman itu bisa tahan satu minggu.
"Bisa tahan satu minggu asal gulanya bagus, tidak terlalu encer. Makin lama dari proses produksi makin harum, cuma tidak bisa kriuk lagi," pungkas Suhabiya. (Syarif/Rfq)