Angka Kemiskinan. (Ilustrasi/Istimewa) |
Sejak zaman Nabi, kita tahu sudah dikenal istilah orang-orang miskin (masakin). Di dalam al-Qur'an ataupun hadist orang-orang miskin adalah mereka yang berhak menerima zakat. Pada abad ke-8 hingga abad ke-1 SM, orang miskin di Yunani Kuno disebut Aporos. Yakni mereka yang tak punya sarana untuk memperoleh pendapatan sesuai kebutuhan.
Jadi standar orang miskin pada zaman Nabi atau zaman Yunani Kuno dibuat simpel dan tidak ribet seperti zaman sekarang. Kita tahu, ada standar garis kemiskinan versi BPS yang mencapai 14 variabel. Kemudian standar kemiskinan versi World Bank yang kompleks dan menjadikan daya beli masyarakat sebagai variabel utama.
Jika fokus pada versi BPS, maka persoalan yang kita hadapi minimal ada 2 hal. Pertama, persoalan standar kemiskinan yang (sejatinya) terus berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kedua, persoalan angka kemiskinan yang berkaitan dengan sumber data dan metode survei oleh BPS sendiri.
Namun demikian, standar kemiskinan yang dipakai BPS cenderung stagnan. Patut diduga masih memakai standar dan variabel era 90-an ke bawah. Sebab, tidak ada variabel kepemilikan telepon genggam di dalamnya. Padahal, zaman sekarang setiap warga di semua strata sosial nyaris memegang handphone. Apakah warga yang telah berkomunikasi memakai handphone
dapat disebut warga miskin?
Kemudian mengenai angka kemiskinan yang diintrodusir oleh BPS di suatu daerah seperti Kabupaten Sumenep ini, pastilah tidak jatuh dari langit. BPS dalam praktik penghitungan angka kemiskinan diwajibkan menggunakan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Metode yang dipakai bisa melalui survei mandiri, di mana para petugasnya turun langsung ke lapangan atau bisa secara pasif dengan meminta data ke kecamatan, desa, instansi dan lembaga pemerintahan maupun swasta.
Yang saya ketahui dan faktor ini pula yang menurut saya menjadi pangkal persoalan bahwa selama ini tak ada yang berusaha menguji validitas hasil penghitungan angka kemiskinan versi BPS tersebut. Apakah dari kalangan akademik atau dari NGO yang konsen di bidang statistik.
Satu contoh persoalan lain yang terjadi adalah apakah data yang diberikan desa mengenai jumlah warga miskin di wilayahnya telah sesuai dengan fakta dan variabel yang ditentukan BPS. Jika data yang diserahkan selalu sama atau bahkan terus bertambah dari tahun ke tahun, maka ini bisa dipertanyakan sebetulnya.
Berapa triliun dana desa per tahun yang digelontorkan pada seluruh desa di tanah air, yang digunakan untuk memberantas kemiskinan. Belum lagi bantuan dari pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Jadi, aneh bin ajaib jika angka kemiskinan itu cenderung stagnan, apalagi bertambah.
Oleh karena itu, persoalan kemiskinan di Republik ini bukan semata-mata berkaitan dengan effort penyelenggara pemerintahan untuk memberantas kemiskinan. Tetapi juga ditentukan oleh political will para pemangku kebijakan untuk merevisi jenis dan jumlah bantuan kemiskinan secara jujur sesuai dengan fakta di lapangan.
*) Pemerhati kelahiran Sumenep dan penulis lepas